Artikel ini saya tulis sebagai respon atas anggapan kawan2 wahhabi yang menganggap Tuhan bertempat di Langit. Aneh.
Pertanyaan dimana Tuhan Sangat Tidak Relevan
– Sebuah telaah pendek –
Oleh: subbhan a, blogger
peristiwa ledakan besar dari sebuah singularitas yang melahirkan alam semesta. dimana Tuhan saat itu?
Ketika Hubble menemukan teleskopnya, dia menemukan bahwa bintang2 yang diamati mengalami pergeseran infra merah. Seketika para fisikawan sadar bahwa bintang2 bergerak saling berjauhan satu sama lain. Karena hanya dalam keadan bergerak saling menjauh, bintang dapat mengeluarkan sinar inframerah.
Jika bintang2 saling bergerak menjauh satu sama lain, dan kecepatan menjauhnya dapat diukur, berarti dengan menghitung balik, fisikawan juga dapat menghitung saat semua benda angkasa di alam semesta berkumpul dalam satu titik dimensi tetapi memiliki massa sebesar alam semesta saat ini.
Itulah singularitas.
Utk memahami apa itu singularistas, bayangkan alam semesta saat ini yg besanya tak hingga tapi dengan ukuran sedemikian kecil mendekati nol. Saat itu, hukum fisika yg saat ini dikenal, tidak berlaku. Tidak ada yg namanya hukum graviasi, hukum newton, hukum kuantum dll. Materi belum dikenal, demikian pula konsep ruang dan waktu. Atas bawah, langit, bumi, bintang tidak relevan dibahas.
Alam semesta yg kita kenal saat ini pun tidak ada.
Dimana Tuhan saat itu?
Pertanyaan dimana Tuhan saat itu sama tidak relevannya dgn pertanyaan dimana Tuhan saat ini. Karena kata “dimana”, berarti menanyakan tempat dan terkait dengan ruang. Padahal ruang itu sendiri belum tercipta. Tuhan tidak dilangit, tidak di bumi, tidak dimana-mana, tidak kemana-mana tetapi ada dimana-mana. Dia ada sejak awal mula dan tetap ada hingga alam semesta tiada. Konsep ruang dan waktu tdk meliputiNya karena ruang waktu justru diciptakanNya. Karena itu, mencoba menerangkan sifat keberadaaNya seringkali menjadi paradoksial.
Bahwa Alquran mencoba menjelaskan bahwa seakan2 Tuhan dilangit, hanya bisa ditafsirkan karena Dia ingin berdialog dengan makhkuknya dengan bahasa yg dikenal manusia. Tentu sangat rumit menjelaskan eksistensi Tuhan, yg terlepas dari ruang waktu dan terlepas dari hukum2 fisika saat ini sementara otak manusia, mengalami adaptasi selama jutaan tahun dalam hukum2 fisika yg dikenal saat ini.
Dalam acara NatGeo BrainGame, ada sebuah percobaan yg menunjukkan bahwa cara otak bekerja mengenai persepsi ruang dan waktu, sedemikian mudah direkayasa. Saat itu, sepasang suami istri, diberikan kaca mata yg memiliki distorsi 7 derajat. Artinya, setiap benda yang dilihat dgn kaca mata tersebut, bergeser sebesar 7 derajat kekiri.
Ketika pasangan tersebut disuruh menuangkan air ke sebuah gelas, keduanya gagal melakukannya akibat distorsi kaca mata. Ajaibnya, otak manusia secara cepat beradaptasi. Dan 15-20 menit kemudian, pasangan tersebut dapat menyesuaikan kondisi distorsi dan dapat menuangkan air didalam gelas.
Setelah terbiasa menggunakan kaca mata distorsi, percobaan dilanjutkan ketika kaca matanya dilepas. Karena otak sudah terbiasa melihat realita dalam keadaan distorsi, maka ketika kaca mata dilepas, otakpun harus menyesuaikan realita. Tetapi itupun butuh waktu. Utk sesaat pasangan tersebut juga gagal menuangkan air kedalam gelas karena otak masih beradaptasi.
Apa korelasi percobaan yang saya sebutkan diatas?
Bahwa konsep atas bawah, yang direkam manusia, adalah hasil adaptasi otak manusia jutaan tahun. Bahwa sesuatu disebut “diatas”, untuk sesuatu diatas horizon dan disebut “dibawah” utk dibawah horizon pandangan.
Dan butuh sebuah distorsi untuk membalik itu semua.
Maka ketika Tuhan, harus bercakap-cakap dan menyampaikan ide-Nya kepada manusia adaptif seperti ini, Dia harus bercakap-cakap dengan bahasa dan distorsi yang dikenal manusia.
Bahkan dengan itupun, begitu banyak penafsiran atasNya. Bayangkan, jika Tuhan menjelasakan diri-Nya dalam realitas yang tidak dipahami manusia. Bisa jadi tidak ada satupun manusia yang mampu mengenal-Nya.